Kamis, 05 Januari 2017

HOS Tjokroaminoto; Gelorakan Nasionalisme Berbasis Islam

“HOS Tjokroaminoto adalah Peletak Dasar Perubahan Sosial Politik di Indonesia”. Itu, adalah salah satu judul di dalam buku Menemukan Sejarah karya sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara.

Sang Penggerak
Oemar Said Tjokroaminoto, nama aslinya. Lazim ketika itu, sepulang menunaikan haji nama seseorang lalu ditambahi ‘gelar’ H(aji). Begitu juga yang terjadi dengan munculnya nama Haji Oemar Said Tjokroaminoto, disingkat HOS Tjokroaminoto.

Dia lahir pada 16 Agustus 1882 di Madiun. Ayahnya adalah Wedana di Kleco Madiun dan kakeknya adalah Bupati di Ponorogo. Tampaknya, pada diri Tlokroaminoro lebih “teraliri darah” kakek buyutnya -Kiai Bagus Kasan Besari- yang bersikap kerakyatan dan selama hayatnya memerjuangkan tegaknya ajaran Islam di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.

Saat anak-anak, Tjokroaminoto diasuh di lingkungan Pesantren. Kemudian ayahnya menyekolahkannya ke “Sekolah Belanda” yang memakai sistem Barat. Lantaran itu, dia pun menguasai bahasa Belanda dan Inggris.

Sekitar usia 20 tahun dia lulus dari Sekolah Pamong Praja di Magelang. Lalu bekerja di “lingkungan penjajah” sebagai Juru Tulis di Kepatihan Ngawi, 1902-1905. Setelah itu, dia pindah ke Surabaya dan bekerja di perusahaan swasta.

Di Surabaya, rumah Tjokroaminoto menerima kos. Di antara anak kosnya adalah Soekarno yang ketika itu sedang belajar di Surabaya. Belakangan Soekarno menjadi muridnya di bidang politik. Malah, Soekarno pernah menjadi menantunya.

Dari perusahaan swasta yang dimaksud di atas, Tjokroaminoto lantas pindah bekerja di perusahaan jasa konsultasi teknik. Belum setahun, datang utusan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) Surakarta meminta Tjokroaminoto bergabung.

SDI didirikan pada 1905 dan dipimpin K.H. Samanhudi, seorang pedagang sukses. SDI, dalam pandangan Samanhudi, mestilah diperlebar cakupannya dan tak hanya urusi soal dagang saja. Tapi, juga urusi politik dan dakwah. Dia sadari, kader yang bisa membawa cita-cita tersebut tak banyak. Maka, dicarilah orang yang berani dan punya visi.
Terdengar kabar, ada orang pribumi yang dididik secara Barat tapi punya keberanian. Indikasinya, orang tersebut berani keluar sebagai “Pegawai Negeri” dengan alasan tak mau terus menerus “merunduk”.

Orang yang dimaksud adalah Tjokroaminoto. Dia punya visi, pemberani, dan jika berbicara lantang. Dia tak pernah menundukkan kepalanya ketika bicara. Mata lawan bicara selalu ditatapnya, tak peduli atasannya atau si penjajah. Bila berhadapan dengan Belanda atau pegawai pemerintah, dia memilih duduk di atas kursi karena baginya semua orang itu sama.

Maka, aktiflah Tjokroaminoto di SDI. Dia dikenal sebagai sang orator dan pemberi semangat rakyat. Bila di depan anggota SDI atau publik pada umumnya, dia pandai memainkan emosi pendengarnya lewat pidatonya yang berapi-api. Kecuali itu, Tjokroaminoto pandai menulis. Tulisan-tulisannya inspiratif.

Tjokroaminoto kharismatik dan populer. Popularitas yang didapatnya adalah buah dari usahanya dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat atas hak sosial-politiknya. Memang, melalui keahliannya berorasi, dia dengan mudah mengomunikasikan perjuangannya kepada masyarakat.

Di tangan Tjokroaminoto, SDI lalu mengubah namanya menjadi Syarikat Islam (SI) pada 10 September 1912. Cermatilah! Tjokroaminoto memimpin SI saat berusia 30 tahun. Artinya, ketika itu dia masih tergolong sebagai pemuda.

Dia lalu mengubah haluan, bahwa SI adalah kumpulan umat Islam yang hendak mengilmui Islam dan menegakkan Islam. Maka, para anggotanya tak harus pedagang, tapi bisa semua unsur masyarakat.

Syarikat Dagang lslam yang kemudian
menjadi Syarikat Islam adalah ormas
modern tertua di lndonesia
Kesibukan Tjokroaminoto bertambah. Kongres-kongres SI diikutinya. Di kongres SI di Madiun pada 1923, SI berubah menjadi Partai Syarikat Islam (PSI).

Pada 1931, melalui buku kecil berjudul Tafsir Program-Asas dan Program-Tandhim, Tjokroaminoto menyampaikan bahwa lewat PSI akan diperjuangkan terwujudnya suatu keadaan yang kaum Muslimin bisa menjalankan Islam dengan sepenuh-penuhnya supaya bisa mendapatkan suatu dunia Islam yang sejati (Herry Mohammad/Ed., 2008: 31-32).

Di sela-sela kesibukannya, Tjokroaminoto masih sempat menulis. Di antara hasil karyanya ada yang berjudul Tarikh Agama Islam. Buku ini terutama disarikan dari karya Amir Ali -The Spirit of Islam- serta karya Kawaja Kamaluddin -The Ideal Prophet dan The Prophet of Muhammad. Tujuan penerbitannya, agar umat Islam memahami sejarah Islam dan Nabi Muhammad Saw.

Adapun yang bersifat ideologis, Tjokroaminoto menulis Islam dan Sosialisme. Di buku itu diuraikan secara tegas tentang sistem ajaran Islam yang menjunjung tinggi kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan.

Islam sebagai jalan hidup adalah “tema” yang terus diperjuangkan Tjokroaminoto. Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Pemberi Ingat dan Penunjuk Jalan kepada Umat Islam” yang ditulis pada 1930-an, Tjokroaminoto memberi peringatan kepada umat Islam yaitu bahwa untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat maka hendaklah seseorang menjalankan agamanya dan berilmu. Hanya dua perkara ini yang bisa menghindarkan seseorang dari kerendahan derajat dan kesengsaraan.

Tjokroaminoto memang suka menulis. Sebelumnya, pada sekitar 1907-1910 dia aktif menulis artikel di Bintang Surabaya, misalnya. Malah, dia sempat mendirikan surat kabar Utusan Hindia, Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad.

Melalui media dia dapat menuangkan ide dan semangat pergerakan nasional serta menyuarakan kepentingan sosial-ekonomi umat Islam. Ide dan semangat tersebut kelak dituangkannya ke dalam organisasi sosial-politik Syarikat Islam (SI) yang dipimpinnya.

Tjokroaminoto bertipe “Sang Penggerak”. Bersama H. Agus Salim, pada 1926 Tjokroaminoto mendirikan “Organisasi Haji Hindia”. Pada 1927, mereka membentuk “Muktamar Alam Islami Far’ul Hindi Syarqiyah”, sebuah organisasi yang bertujuan untuk memerjuangkan kemerdekaan Indonesia yang berdasar kepada spirit keislaman (Ensiklopedi Islam Indonesia. 1992: 188-189).

“Api” Tjokroaminoto
Tjokroaminoto, Sang Singa Podium, wafat pada 17 Desember 1934 di Yogyakarta dalam usia 52 tahun. Dia telah banyak berbuat kebaikan untuk negeri ini dan itu dimulainya sejak muda. Hal paling pokok yang telah dikerjakannya adalah menumbuhkan kesadaran nasional dari rakyat untuk merdeka dan itu ditumpukannya kepada iman dan Islam.[]

Kredit: 50 Pendakwah Pengubah Sejarah; M. Anwar Djaelani; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar